Rabu, 24 November 2010

Kayak lawakan

Assalamualaikum
Disadari atau nggak, sekarang banyak sekolah kesehatan bermunculan. Dulu, bidan atau perawat cukup hanya lulusan SPK yg setingkat dengan SMA. Begitu lulus langsung ditugaskan karena peminatnya memang sedikit. Sekarang, di jaman milenium, untuk dapat pekerjaan saja susah banget meski sudah jadi sarjana. Indonesia adalah negara dg tingkat pengangguran yg tinggi. Banyak lulusan sarjana yg berakhir menjadi pengangguran. Bagi yg kreatif adalah soal lain. Mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Tapi berbisnis juga bukan perkara mudah. Dibutuhkan strategi dan kreatifitas yg tinggi karena banyak saingan.
Balik lagi ke masalah awal. Pekerjaan menjadi petugas kesehatan dipandang sebagai pekerjaan yg sukses. Terutama bidan karena bisa membuka praktek sendiri. Konon katanya penghasilan bidan dari prakteknya bisa lebih tinggi dari dokter. Maka berbondong2lah orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah kesehatan. Karena banyaknya peminat, banyak pula bermunculan sekolah kesehatan yg celakanya belum tentu dapat ijin dan akreditasi. Banyak orang awam tidah tahu, mereka dg senang hati memasukkan anaknya ke sekolah yg baru meluluskan beberapa angkatan. Apalagi hanya dg beberapa biaya tambahan sang anak bisa langsung masuk tanpa harus susah2 ikut ujian. Budaya suap memang seperti mendarah daging di Indonesia. Seperti berita yg santer beredar sekarang. Asal punya uang, anak dg kemampuan kurang pun bisa masuk universitas terkenal. Asal ada uang segepok, sarjana yg baru lulus kemarin bisa jadi pegawai negeri. Masalahnya tidak semua orang punya kekayaan yg melimpah. Bayar sekolahnya aja minta ampun.
Banyaknya sekolah yg bermunculan tidak dibarengi dg kinerja yg bagus juga. Banyak sekolah yg memasukkan murid sebanyak2nya tanpa berpikir apakah semua anak itu bisa dapat kerja setelah lulus. Jadwal kalender akademik yg amburadul. Dan lebih parahnya sistem penilaian yg seenaknya. Mahasiswa susah payah melakukan ujian. Mendapatkan nilai, tapi nilai yg didapatkan tidak dicantumkan. Yang tercantum adalah nilai yg datang entah dari mana. Bagi yg mujur dapat nilai bagus bisa tersenyum. Bagi yg sial, manyun.
Rasanya seperti lawakan. Kerja keras selama bertahun2 berakhir dg rekayasa. Kalau seperti itu, bukannya sama saja dg para pembeli ijazah sarjana. Tinggal kasih uang, bisa dapat titel sarjana.
Karena sudah membudaya sulit dihilangkan. Memang masih ada orang2 yg berpikiran sehat dan jujur. Semoga mereka yg masih punya idealisme tidak ikut terperosok ke dalam budaya yg memalukan ini.
Wassalamualaikum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar